Trenggalek, SEJAHTERA.CO – Skema perdagangan karbon dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) 2025-2045 Trenggalek terus diperdalam.
Pendalaman itu dilakukan agar dalam realisasinya nanti tidak terjadi tumpang tindih.
Potensi tumpang tindih itu bukan tanpa sebab, mengingat tak sepenuhnya wilayah hutan di Bumi Menak Sopal sebutan lain Kabupaten Trenggalek milik pemerintah daerah. Mayoritas hutan yang ada di Trenggalek adalah milik Perhutani dan sebagian lainnya di miliki masyarakat.
“Apakah nanti ada MOU dengan Perhutani, kalau lahan masyarakat seperti apa. Apa tidak akan mempermasalahkan ketika di sertifikatkan emisi, misalnya. Istilahnya cawe-cawe, kalau cawe-cawe gimana, apa langkahnya,” kata Ketua Pansus II RPJPD Trenggalek, Mugianto saat membahas bersama tim asistensi pemerintah daerah di Kantor DPRD Trenggalek.
Selain takaran teknis pelaksanaan, dalam rapat itu, legislatif juga memperdalam soal potensi pendapatan yang akan dihasilkan dibandingkan takaran biaya yang dikeluarkan. Pendalaman itu sebagai pijakan untuk pelaksanaan teknis di lapangan.
“Sertifikat per-hektar mengeluarkan berapa, kalau dijual dapat berapa, kami belum tahu. Misal dalam lahan 5-10 hektar, per 1 hektar biaya sertifikat emisi misalnya Rp 1 miliar, kami dapat berapa, sebanding atau tidak? Kami sudah sepakat dengan tema ini, harapan besar dapat stimulus menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD),” imbuhnya.
Untuk itu, legislator menekankan kepada eksekutif agar tema net zero carbon lewat perdagangan karbon yang jadi poin utama dalam perencanaan RPJPD untuk 20 tahun kedepan itu benar-benar matang, sehingga tidak jadi rancu dikemudian hari.